Jumat, 26 November 2010

Esai

Panduan Dasar Menulis Esai
Untuk membuat sebuah esai yang berkualitas, diperlukan kemampuan dasar menulis dan latihan yang terus menerus. Berikut ini panduan dasar dalam menulis sebuah esai.
Struktur Sebuah Esai
Pada dasarnya, sebuah esai terbagi minimum dalam lima paragraf:
1. Paragraf pertama
Dalam paragraf ini penulis memperkenalkan topik yang akan dikemukakan, berikut tesisnya. Tesis ini harus dikemukakan dalam kalimat yang singkat dan jelas, sedapat mungkin pada kalimat pertama. Selanjutnya pembaca diperkenalkan pada tiga paragraf berikutnya yang mengembangkan tesis tersebut dalam beberapa sub topik.
2. Paragraf kedua sampai kelima
Ketiga paragraf ini disebut tubuh dari sebuah esai yang memiliki struktur yang sama. Kalimat pendukung tesis dan argumen-argumennya dituliskan sebagai analisa dengan melihat relevansi dan relasinya dengan masing-masing sub topik.
3. Paragraf kelima (terakhir)
Paragraf kelima merupakan paragraf kesimpulan. Tuliskan kembali tesis dan sub topik yang telah dibahas dalam paragraf kedua sampai kelima sebagai sebuah sintesis untuk meyakinkan pembaca
Langkah-langkah membuat Esai
1. Tentukan topik
2. Buatlah outline atau garis besar ide-ide anda
3. Tuliskan tesis anda dalam kalimat yang singkat dan jelas
4. Tuliskan tubuh tesis anda:
o Mulailah dengan poin-poin penting
o kemudian buatlah beberapa sub topik
o Kembangkan sub topik yang telah anda buat
5. Buatlah paragraf pertama (pendahuluan)
6. Tuliskan kesimpulan
7. Berikan sentuhan terakhir
Memilih Topik
Bila topik telah ditentukan, anda mungkin tidak lagi memiliki kebebasan untuk memilih. Namun demikian, bukan berarti anda siap untuk menuju langkah berikutnya.
Pikirkan terlebih dahulu tipe naskah yang akan anda tulis. Apakah berupa tinjauan umum, atau analisis topik secara khusus? Jika hanya merupakan tinjauan umum, anda dapat langsung menuju ke langkah berikutnya. Tapi bila anda ingin melakukan analisis khusus, topik anda harus benar-benar spesifik. Jika topik masih terlalu umum, anda dapat mempersempit topik anda. Sebagai contoh, bila topik tentang “Indonesia” adalah satu topik yang masih sangat umum. Jika tujuan anda menulis sebuah gambaran umum (overview), maka topik ini sudah tepat. Namun bila anda ingin membuat analisis singkat, anda dapat mempersempit topik ini menjadi “Kekayaan Budaya Indonesia” atau “Situasi Politik di Indonesia. Setelah anda yakin akan apa yang anda tulis, anda bisa melanjutkan ke langkah berikutnya.
Bila topik belum ditentukan, maka tugas anda jauh lebih berat. Di sisi lain, sebenarnya anda memiliki kebebasan memilih topik yang anda sukai, sehingga biasanya membuat esai anda jauh lebih kuat dan berkarakter.
• Tentukan Tujuan
Tentukan terlebih dahulu tujuan esai yang akan anda tulis. Apakah untuk meyakinkan orang agar mempercayai apa yang anda percayai? Menjelaskan bagaimana melakukan hal-hal tertentu? Mendidik pembaca tentang seseorang, ide, tempat atau sesuatu? Apapun topik yang anda pilih, harus sesuai dengan tujuannya.
• Tuliskan Minat Anda
Jika anda telah menetapkan tujuan esai anda, tuliskan beberapa subyek yang menarik minat anda. Semakin banyak subyek yang anda tulis, akan semakin baik. Jika anda memiliki masalah dalam menemukan subyek yang anda minati, coba lihat di sekeliling anda. Adakah hal-hal yang menarik di sekitar anda? Pikirkan hidup anda? Apa yang anda lakukan? Mungkin ada beberapa yang menarik untuk dijadikan topik. Jangan mengevaluasi subyek-subyek tersebut, tuliskan saja segala sesuatu yang terlintas di kepala.
• Evaluasi Potensial Topik
Jika telah ada bebearpa topik yang pantas, pertimbangkan masing-masing topik tersebut. Jika tujuannya mendidik, anda harus mengerti benar tentang topik yang dimaksud. Jika tujuannya meyakinkan, maka topik tersebut harus benar-benar menggairahkan. Yang paling penting, berapa banyak ide-ide yang anda miliki untuk topik yang anda pilih.
Sebelum anda meneruskan ke langkah berikutnya, lihatlah lagi bentuk naskah yang anda tulis. Sama halnya dengan kasus dimana topik anda telah ditentukan, anda juga perlu memikirkan bentuk naskah yang anda tulis.
>kembali
Membuat Outline
Tujuan dari pembuatan outline adalah meletakkan ide-ide tentang topik anda dalam naskah dalam sebuah format yang terorganisir.
1. Mulailah dengang menulis topik anda di bagian atas
2. Tuliskan angka romawi I, II, III di sebelah kiri halaman tersebut, dengan jarak yang cukup lebar diantaranya
3. Tuliskan garis besar ide anda tentang topik yang anda maksud:
o Jika anda mencoba meyakinkan, berikan argumentasi terbaik
o Jika anda menjelaskan satu proses, tuliskan langkah-langkahnya sehingga dapat dipahami pembaca
o Jika anda mencoba menginformasikan sesuatu, jelaskan kategori utama dari informasi tersebut
4. Pada masing-masing romawi, tuliskan A, B, dan C menurun di sis kiri halaman tersebut. Tuliskan fakta atau informasi yang mendukung ide utama
>kembali
Menuliskan Tesis
Suatu pernyataan tesis mencerminkan isi esai dan poin penting yang akan disampaikan oleh pengarangnya. Anda telah menentukan topik dari esai anda, sekarang anda harus melihat kembali outline yang telah anda buat, dan memutuskan poin penting apa yang akan anda buat. Pernyataan tesis anda terdiri dari dua bagian:
• Bagian pertama menyatakan topik. Contoh: Budaya Indonesia, Korupsi di Indonesia
• Bagian kedua menyatakan poin-poin dari esai anda. Contoh: memiliki kekayaan yang luar biasa, memerlukan waktu yang panjang untuk memberantasnya, dst.
>kembali
Menuliskan Tubuh Esai
Bagian ini merupakan bagian paling menyenangkan dari penulisan sebuah esai. Anda dapat menjelaskan, menggambarkan dan memberikan argumentasi dengan lengkap untuk topik yang telah anda pilih. Masing-masing ide penting yang anda tuliskan pada outline akan menjadi satu paragraf dari tubuh tesis anda.
Masing-masing paragraf memiliki struktur yang serupa:
1. Mulailah dengan menulis ide besar anda dalam bentuk kalimat. Misalkan ide anda adalah:t “Pemberantasan korupsi di Indonesia”, anda dapat menuliskan: “Pemberantasan korupsi di Indonesia memerlukan kesabaran besar dan waktu yang lama”
2. Kemudian tuliskan masing-masing poin pendukung ide tersebut, namun sisakan empat sampai lima baris.
3. Pada masing-masing poin, tuliskan perluasan dari poin tersebut. Elaborasi ini dapat berupa deskripsi atau penjelasan atau diskusi
4. Bila perlu, anda dapat menggunakan kalimat kesimpulan pada masing-masing paragraf.
Setelah menuliskan tubuh tesis, anda hanya tinggal menuliskan dua paragraf: pendahuluan dan kesimpulan.
>kembali
Menulis Paragraf Pertama
1. Mulailah dengan menarik perhatian pembaca.
o Memulai dengan suatu informasi nyata dan terpercaya. Informasi ini tidak perlu benar-benar baru untuk pembaca anda, namun bisa menjadi ilustrasi untuk poin yang anda buat.
o Memulai dengan suatu anekdot, yaitu suatu cerita yang menggambarkan poin yang anda maksud. Berhati-hatilah dalam membuat anekdot. Meski anekdot ini efektif untuk membangun ketertarikan pembaca, anda harus menggunakannya dengan tepat dan hati-hati.
o Menggunakan dialog dalam dua atau tiga kalimat antara beberapa pembicara untuk menyampaikan poin anda.
2. Tambahkan satu atau dua kalimat yang akan membawa pembaca pada pernyataan tesis anda.
3. Tutup paragraf anda dengan pernyataan tesis anda.
>kembali
Menuliskan Kesimpulan
Kesimpulan merupakan rangkuman dari poin-poin yang telah anda kemukakan dan memberikan perspektif akhir anda kepada pembaca. Tuliskan dalam tiga atau empat kalimat (namun jangan menulis ulang sama persis seperti dalam tubuh tesis di atas) yang menggambarkan pendapat dan perasaan anda tentang topik yang dibahas. Anda dapat menggunakan anekdot untuk menutup esai anda.
>kembali
Memberikah Sentuhan Akhir
1. Teliti urutan paragraf Mana yang paling kuat? Letakkan paragraf terkuat pada urutan pertama, dan paragraf terlemah di tengah. Namun, urutan tersebut harus masuk akal. Jika naskah anda menjelaskan suatu proses, anda harus bertahan pada urutan yang anda buat.
2. Teliti format penulisan. Telitilah format penulisan seperti margin, spasi, nama, tanggal, dan sebagainya
3. Teliti tulisan. Anda dapat merevisi hasil tulisan anda, memperkuat poin yang lemah. Baca dan baca kembali naskah anda.
4. Apakah masuk akal? Tinggalkan dulu naskah anda beberapa jam, kemudian baca kembali. Apakah masih masuk akal?
5. Apakah kalimat satu dengan yang lain mengalir dengan halus dan lancar? Bila tidak, tambahkan bebearpa kata dan frase untuk menghubungkannya. Atau tambahkan satu kalimat yang berkaitan dengan kalimat sebelumnya
6. Teliti kembali penulisan dan tata bahasa anda.
http://approdite1992.wordpress.com/2009/03/26/panduan-dasar-menulis-esai/
I. PENGANTAR
Tidak ada yang menghendaki kita hidup bercerai berai hanya karena alasan kita berbeda satu sama lainnya dalam hal berbeda etnis, bahasa, keyakinan, kebiasaan, makanan, dan lain-lain. Tulisan ini sengaja disajikan dengan tujuan mengangkat sebuah tema penting seperti mengapa kita berbeda dan upaya apa yang seharusnya kita lakukan untuk menyikapi perbedaan itu, sehingga perbedaan itu tidak perlu dipersoalkan apalagi sampai menyulut konflik sosial yang justru akan menghancurkan kehidupan kita di muka bumi ini.
II. MENGAPA KITA BERBEDA?
Jawaban awam adalah karena kita memiliki kebudayaan yang berbeda. Jawaban ini bisa dibetulkan, namun masih perlu banyak klarifikasi dan contoh-contohnya. Menurut Panikos Panayi(2000) bentuk-bentuk keberagaman/anekawarna/perbedaan itu dapat dilihat dari dua hal, yaitu:
Pertama, Perbedaan secara biologis mencakup:
a. Jenis Kelamin(seks) seperti laki-laki dan perempuan
b. Usia. Yang lebih penting di sini adalah pembedaan antara usia muda dan tua
c. Intelektual, yaitu pembedaan yang ditentukan oleh kepandaian/kepintaran seseorang. Di sini juga berhubungan dengan perbedaan pendapat atau persepsi seseorang terhadap suatu masalah.
d. Ras. pembedaan di sini ditentukan oleh asal-usul dan pengolongan ras umat manusia seperti Kaukasoid, Mongoloid, Negroid, dan ras-ras khusus seperti:Polynesia, Weddid, Australoid, Ainu, Bushman, Melanozoid.
Kedua, Perbedaan Berdasarkan Kondisi Sosial Budaya, Mencakup:
a. Suku bangsa yang berhubungan dengan adat-istiadat, kesenian, pakaian, bahasa, teknologi, sistem pengetahuan, ciri-ciri fisik, ritual, makanan khas/ tradisional, dan kesamaan dalam tata nilai, pandangan tentang jagad raya, dan lain-lain.
b. Agama berhubungan dengan kepercayaan/keyakinan umat manusia pada Tuhan Yang Maha Esa. Yang penting ditunjukkan di sini bahwa kita mengenal banyak agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kaharingan.

c. Klan dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu klan besar dan klan kecil. Klan besar adalah suatu kelompok kekerabatan yang berasal dari satu nenek moyang, dan klan kecil adalah suatu kelompok kekerabatan yang terdiri dari satu nenek moyang melalui garis keturunan ayah atau garis ibu. Klan berarti kerabat atau Marga di Sumatera atau Buay di Lampung.
d. Profesi berhubungan erat dengan keahlian dan jabatan seseorang dan profesi inipun menciptakan keanekaragaman dalam masyarakat.
Pertanyaan selanjutnya adalah faktor apa yang membuat perbedaan-perbedaan itu? Untuk menjawab pertanyaan ini kita diminta untuk terlebih dahulu memahami konsep kebudayaan karena kebudayaan adalah suatu alat yang berguna untuk memahami prilaku manusia di seluruh dunia, juga di negeri kita sendiri. Pandangan-pandangan mengenai konsep ini terutama berasal dari ilmu-ilmu prilaku manusia(Behavioral Sciences) seperti sosiologi, antropologi dan psikologi. Ilmu-ilmu sosial tersebut mempelajari dan menjelaskan kepada kita tentang bagaimana orang-orang berprilaku, mengapa mereka berprilaku demikian, dan apa hubungan antara prilaku manusia dengan lingkungannya. Secara umum kita cendrung memandang prilaku orang lain dalam konteks latar belakang kita sendiri(etnosentrisme), yaitu kita melihat dan menilai orang lain dari perspektif “dunia kecil” kita sendiri dan karenanya bersifat subjektif. Antropologi sosial, pada khususnya membantu kita untuk menyeimbangkan perspektif kita dengan memberikan cara-cara yang objektif untuk menganalisis dan mengantisipasi kemiripan-kemiripan dan perbedaan-perbedaan budaya. Pada dasarnya manusia-manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka sebagai suatu proses adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Perubahan suatu lingkungan dapat pula mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan kebudayaan, dan perubahan kebudayaan dapat pula terjadi karena mekanisme lain seperti munculnya penemuan baru(invention), penyebaran kebudayaan(difusi) dan penerimaan kebudayaan lain(akulturasi).
Hubungan timbal balik antara manusia dan alam akan menciptakan suatu kebudayaan baru dan perubahan kebudayaan. Misalnya, bagaimana manusia berusaha hidup harmonis atau beradaptasi dengan alam, yaitu membangun rumah tahan gempa di daerah rawan gempa; orang Dayak membangun rumah panggung untuk mengantisipasi bahaya banjir dan binatang buas; Orang Eskimo tinggal di rumah Igloo dan membuat pakian dari kulit binatang agar tahan terhadap cuaca dingin ; masyarakat yang tinggal di tepi pantai dan masyarakat yang tinggal di pedalaman, masyarakat di pedesaan dan masyarakat di perkotaan pasti memiliki mentalitas dan kepribadian yang berbeda yang ditempa oleh alam di mana mereka berada. Misalnya masyarakat pedesaan masih memiliki ciri masyarakat komunal dan subsisten, sementara di perkotaan masyarakat bercirikan masyarakat individual dan materialistis. Masyarakat nelayan yang tinggal di tepi pantai pada umumnya memiliki sifat keras dan pemberani karena sudah dibentuk oleh alam yang ganas seperti ombak dan gelombang yang sangat berbahaya.
III. DAMPAK GLOBALISASI
Secara sederhana Globalisasi dapat dipahami sebagai proses Westernisasi, dimana arus globalisasi akan menghancurkan integritas budaya negara lain karena globalisasi dianggap sangat represif, eksploitatif, dan berbahaya bagi semua orang. Menurut Widen(2001) konsep globalisasi dapat dipahami melalui berbagai peristiwa sejarah yang meningkatkan arus globalisasi itu sendiri, seperti: (1) ekspansi Eropa dengan navigasi perdagangan;(2)revolusi industri yang mendorong pencarian tempat pemasaran hasil industrinya; (3)pertumbuhan kolonialisme dan imperialisme; (4)pertumbuhan kapitalisme; (5)perkembangan revolusi teknologi dan informasi; (6)persebaran ideologi universal seperti HAM, kebebasan, kesejahteraan, toleransi, kesehatan, pendidikan, agama, demokrasi, dan harga diri; (7) mobilitas manusia ke berbagai penjuru dunia.
Salah satu dampak globalisasi yang ingin saya perlihatkan di sini adalah semakin mengentalnya FAHAM ETNOSENTRISME akibat menguatnya identitas kelompok berupa identitas etnik dan identitas agama sebagai akibat dari kurang siapnya kita menerima dan memahmi keberagaman yang semakin kompleks. ETNOSENTRISME adalah suatu faham yang memberi penilaian negatif terhadap semua budaya di luar kebudayaan sendiri, atau hanya mengangungkan kebudayaan sendiri dan merendahkan kebudayaan lain. Faham seperti ini sudah tidak cocok lagi dalam negara demokrasi dan masyarakat multikultural karena akan memicu berbagai konflik sosial dan mendorong terjadinya disintegrasi suku bangsa. Menurut DeFluer(1993); Robbins (1997); dan Raymond Scupin(1995) menguatnya Faham Etnosentrisme umumnya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu;(a)terbatasnya pengetahuan atau wawasan seseorang terhadap dunia luar kelompok etnisnya; (b)rendahnya tingkat pendidikan seseorang sehingga ia tidak mampu mengembangkan cara berpikir kritis, apa yang ia dengar dan ia terima selalu benar adanya,(c)tertutupnya suatu kelompok etnik terhadap pengaruh dunia luar, dan (d) kuatnya induktrinasi dari pemimpin kelompok etnis/kelompok agama tertentu.
IV. DAMPAK OTONOMI DAERAH
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1979. Undang Undang yang baru ini membuka kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat lokal untuk berkembang dan merencanakan program pembanguan yang relevan dengan aspirasi masyarakat dan karakteristik geografis serta budaya setempat. Kesempatan seluas-luasnya di sini bukan berarti kebebasan seluas-luasnya. Kebebasan memang ada, namun kebebasan yang terbatas dan harus tetap dalam konteks NKRI. Artinya setiap suku bangsa dan budayanya memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan tidak boleh ada diskriminasi oleh siapapun, baik dari pemerintah maupun dari suku bangsa yang mayoritas. Adanya perbedaan pemahaman sekarang ini terhadap UU No. 32 Tahun 2004(No.22/1999 sebelum direvisi) lebih banyak disebabkan oleh adanya sentimen etnisitas yang berlebihan, sehingga kadang-kadang mengabaikan identitas nasional(nasionalisme). Kalau kita cermati secara kritis, UU Otonomi Daerah ini adalah undang-undang yang sesuai dengan konsep masyarakat Bhinneka Tunggal Ika, yang menghargai dan mengakomodasi keberagaman/anekawarna.
Dampak dari pengalaman kolektif masa lalu(kolonialisme, PKI dan Orba) serta pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Daerah semakin mendorong terjadinya kebangkitan Identitas Etnik di mana-mana. Kebangkitan IdentitasEtnik dan kuatnya solidaritas etnik semakin memperuncing terjadinya berbagai perbedaan dan kepentingan yang pada akhirnya bisa menimbulkan berbagai konflik sosial di tanah air sampai pada saat ini. Suatu contoh, pada saat PILKADA(bupati dan gubernur) masyarakat selalu menyinggung tentang prioritas PUTRA DAERAH, dan agama tertentu. Masalahnya tetap kembali ke UU No:5/1979, yaitu karena semasa Orba keberagaman ingin diseragamankan sehingga kurang terbiasa untuk berbeda, semua kebijakan pembangunan, termasuk pimpinan/kepala daerah ditentukan dari atas(pusat). Sehingga setelah kita keluar dari “belenggu” Orba dan masuk ke era reformasi dan demokrasi, kita semua kaget dengan berbagai perbedaan yang ada di sekitar kita. Akibatnya muncullah berbagai sentimen yang bersifat negatif seperti etnosentrisme. Di dalam etnosentrisme itu sendiri masih banyak sub-sub sentimen lainnya seperti stereotype, prejudice, dan primordialisme.
V. UPAYA MENANGKAL FAHAM ETNOSENTRISME
1. The Melting Pot Policy
The Melting Pot Policy adalah kebijakan pemerintah Amerika Serikat pada abad ke-19 hingga awal abad ke -20 untuk mempercepat proses asimilasi para imigran. Kebijakan ini adalah langkah revolusioner untuk meng-Amerika-kan berbagai suku bangsa(imigran) yang ada di Benua Amerika. Tujuannya sangat sederhana yaitu bagaimana agar berbagai suku bangsa yang ada di sana bisa menghilangkan sentimen kesuku-bangsaannya masing-masing dan meleburkan diri mereka menjadi Bangsa Amerika tanpa harus menoleh kembali ke latar belakang asal-usul suku bangsa mereka. Apakah kebijakan tersebut berhasil? Tidak! Ternyata ide tersebut gagal total karena adalah tidak mungkin menghilangkan identitas etnik setiap suku bangsa(imigran) yang ada di Amerika. Sama halnya dengan orang Australia. Pada saat kita berbicara dengan mereka, mereka pasti akan bangga memperkenalkan tentang asal-usul negara mereka seperti Italia, Belanda, Spanyol, Francis, Nigeria, Polandia, Inggris, dan lain-lain, kendatipun mereka adalah bangsa Australia. Akhirnya kebijakan The Melting Pot itu diganti dengan kebijakan The Salad Bowl, yaitu menerima keanekaragaman yang ada, tetap memelihara dan membanggakan identitas etnik, namun tetap konsisten menjunjung tinggi identitas nasional sebagai bangsa Amerika.
2. Undang-Undang No: 5 Tahun 1979
Langkah yang mirip dengan kebijakan The Melting Pot itu, di Indonesia, selama pemerintah Rezim Orde Baru pernah menerapkan Undang-Undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintah Desa yaitu sebagai upaya pemerintah untuk membangun konsep nasionalisme dengan cara menyeragamkan seluruh pemerintahan desa di Indonesia, namun mengabaikan keberagaman yang ada. Kegagalan kebijakan The Melting Pot dan UU No.5/1979 itu terletak pada kurangnya pemahaman mereka terhadap konsep identitas etnik dan nasionalisme itu sendiri. Manusia disamakan dengan biji-biji besi yang bisa dileburkan menjadi satu lempengan besar. Di situlah kegagalan pemerintahan Orde Baru dalam Nation Building, karena mereka ingin melebur keanekaragaman (anekawarna) tadi menjadi satu warna. Selama rezim Orba, masyarakat lokal dan budaya lokal kurang diakui oleh pemerintah karena lebih mengutamakan masyarakat dan budaya dominan, dan berupaya agar masyarakat lokal dan minoritas mengikuti warna budaya dominan. dan budaya dominan tersebut.
3. Relativitas Budaya dan Pandangan Etnik
Sejak abad XX para antroplog(ahli kebudayaan) barat telah memikirkan cara untuk menangkal semakin menguatnya faham etnosentrisme pada suatu masyarakat multikultural sebagai akibat terjadinya persinggungan budaya yang beranekaragam dan semakin kompleks. Salah satu cara yang digalakkan adalah memberikan suatu pemahaman yang disebut dengan Relativitas Budaya/Kenisbian Budaya(Cultural Relativity). Menurut faham ini, suatu kebudayaan tidak ada yang lebih tinggi(lebih baik) dan tidak ada yang lebih rendah(lebih buruk). Hal ini berarti bahwa kita harus memberikan penghargaan yang sama kepada semua adat-istiadat yang beranekaragam yang terdapat dalam masyarakat kita. Dengan demikian penilaian tidak boleh didasarkan pada pengalaman pribadi yang ditafsirkan oleh setiap individu dengan ukuran dalam kebudayaan sendiri. Memahami suatu kebudayaan adalah suatu pekerjaan yang tidak gampang, karena seseorang harus mampu memahami kompleksitas simbolisme dalam unsur-unsur kebudayan itu menurut pandangan Emik(Emic View) Untuk mengerti dan menginterpretasikan setiap simbol budaya dalam hubungannya dengan praktek kehidupan suatu suku bangsa, seseorang harus dibekali dengan suatu sifat keterbukaan dan toleransi yang tinggi. Hal ini penting karena tiap-tiap simbol dari unsur kebudayaan memiliki makna dan nilai yang unik sesuai dengan simbol yang dimiliknya, dan harus menurut konsep dan nilai yang dibuat oleh pendukung budaya itu(Emic View), sehingga seseorang tidak boleh semaunya(subjektif) memberikan makna pada simbol budaya yang dijumpainya apalagi bila simbol budaya itu berada di luar kebudayaan yang dimiliknya. Menurut konsep Relativitas Budaya: tidak satupun budaya atau tradisi yang dapat dicap aneh, rendah, kuno, atau menjijikkan hanya karena ia berbeda dari apa yang kita miliki. Sebaliknya kita harus mampu dan bisa memahami suatu kebudayaan menurut konsep/nilai/simbol yang telah melekat pada kebudayaan itu sendiri(Robbins, 1997 & Whitten, 1976).
4. Pendidikan Multikulutral(The Study OF Cultural Diversity)
Ideologi Multikulturalisme adalah suatu kebijakan dan pendekatan budaya yang berorientasi pada prinsip-prinsip pelestarian budaya dan saling menghormati di antara kelompok-kelompok budaya dalam suatu masyarakat. Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang ideal dimana kelompok-kelompok masyarakat dapat hidup secara harmonis, bebas untuk melestarikan kebiasaan-kebiasaan agama, linguistik atau sosial, persamaan dalam hal akses sumber daya dan pelayanan, hak-hak sipil, kekuatan politis, dan lain-lain(Dufty, 1986). Secara sederhana multikulturalisme tidak hanya berarti keberagaman budaya, tapi yang termat penting adalah adanya pengakuan bahwa sebuah negara dan masyarakat adalah beragam dan majemuk. Makna pengakuan dan penghargaan di sini adalah kemampuan melihat bahwa berbagai perbedaan unsur budaya itu adalah suatu realitas yang tidak perlu dipertentangkan. Perbedaan baukanlah suatu hal yang negatif, tapi sebaliknya memberikan pengaruh positif agar kita mampu menjadi manusia multikultural.
Prinsisip dasar dari pendidikan multikultral adalah pengembangan sikap dan prilaku yang menghormati dan menghargai individu-individu dan kelompok-kelompok lain yang memiliki latar belakang berbeda sejak dini merupakan metode terbaik untuk meredam kemungkinan terjadinya konflik sosial, ketimbang mencoba memperbaikinya apabila konflik-konflik sosial yang mengancam integrasi nasional sudah terjadi.
Jika asumsi bahwa terjadinya berbagai konflik sosial di tanah air ini antara lain karena tidak adanya atau kurangnya pemahaman dan penghargaan atas budaya etnik/bangsa lain, maka salah satu usaha untuk menyikapinya adalah dengan mendidik manusia-manusia atau masyarakat kita agar mereka mengetahui dan menghargai berbagai perbedaan budaya tersebut. Melalui pendidikan ini kita dapat menciptakan generasi-generasi baru yang tidak terkungkung oleh perspektif sempit yang menyesatkan. Kita harus mengganti cara berpikir demikian dengan pandangan-pandangan yang lebih sesuai dengan realitas dan tuntutan global. Azyumardi Azra(2003) menekankan bahwa pembentukan masyarakat multikultural Indonesia tidak boleh dilakukan dengan cara trial and error, namun harus dilakukan secara sistematis, integrated, dan berkesinambungan. Langkah yang paling strategis menurut Azra adalah melalui Pendidikan Multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, dan bahkan informal dalam masyarakat. Kebutuhan dan urgensi pendidikan multikultural ini telah cukup lama dirasakan oleh bangsa-bangsa majemuk termasuk Indonesia.
Secara sederhana pendidikan multikultutal dapat diartikan sebagai pendidikan untuk/tentang keanekaragaman budaya(Cultural Diversity) dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Secara normatif pendidikan multikultural ini sudah sangat relevan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 1945; UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah; dan UU No. 20 taun 2000 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Menurut Gollnich(dalam Sleeter & McLaren,1995 ada 5(lima) tujuan Pendidikan Multikultural yang harus kita pahami:
Pertama, memperkenalkan nilai dan kekuatan dari keanekaragaman kultural; Kedua, memperkenalkan HAM dan Demokrasi; Ketiga, memperkenalkan pilihan-pilihan hidup alternatif bagi manusia; Keempat,memperkenalkan keadilan sosial dan kesempatan yang sejajar bagi semua orang; Kelima, memperkenalkan keseimbangan dalam distribusi kekuatan di antara kelompok-kelompok yang berbeda.
Sedangkan materi pokok(core) menurut Tim O’Sillivan et al,(1994) harus memuat berbagai materi yang terangkum dalam 4(empat( tema, yaitu:
Pertama, Konsep tentang kebudayaan dalam hubungannya dengan kepentingan politik; Kedua, pluralitas serta sifat multikultur masyarakat Indonesia. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa bukan saja kemajemukan itu menimbulkan keberagaman atau perbedaan cara hidup(way of life). Yang lebih penting adalah melihat kemajemukan serta multikultural sebagai wilayah pertarungan yang tanpa henti, baik dalam bentuk yang tersembunyi(latent) maupun terbuka(manisfest). Konflik itu berlangsung dalam tataran yang bersifat horizontal karena adanya perbedaan etnis, ras, gender, serta keagamaan, maupun akibat dari perbedaan akses terhadap sumber daya ekonomi dan politik yang bersifat vertikal. selain membicarakan persoalan konflik beserta sebab-sebabnya yang harus diperhatikan adalah bagaimana meyelesaikan konflik itu; Ketiga, Politik Identitas. Dalam masyarakat multikultural, pasti terjadi fenomena paradoksal, yaitu dengan munculnya isu globalisasi seakan-akan identitas budaya tidak menjadi penting dan relevan Padahal dibalik globalisasi yang mengandaikan penyeragaman total ke setiap wilayah itu, mencuat pula penguatan identitas berdasarkan subkultur yang diyakini harus dipertahankan oleh masing-masing kelompok budaya. Penguatan identitas itu bukan sekedar persoalan psikologis, tetapi merupakan wujud dari kekuatan ideologis yang terdapat dalam lokus budaya tertentu; Keempat, Peran media massa dalam masyarakat multikultural. Media massa selama ini dipandang sebagai cermin pasif yang dapat memantulkan realitas sosial secara jernih. Padahal, yang sebenarnya terjadi, media massa selalu saja pernuh dengan berbagai kepentingan, baik yang berasal dari persoalan ekonomi-politik(kepemilikan media) maupun nilai-nilai ideologis para jurnalis. Sehubungan dengan hal itu, maka tidaklah benar atau tepat kalau media dianggap sebagai cermin dari realitas sosial. Dalam hal ini menjadi menarik untuk membicarakan persoalan representasi kultural beserta sejumlah konflik yang menyertainya dalam media massa. Hal itu dengan maksud bahwa media massa pun sedikit banyak mempunyai kontribusi dalam meningkatkan potensi serta tingkat ketegangan konflik kultural.
VI. PENUTUP
Kita memang berbeda, namun bukan untuk dibeda-bedakan. Perbedaan/keragaman tersebut merupakan anugerah yang patut kita hormati, akui, dan kita hargai sebagai sebuah realitas sosial yang tidak bisa kita tolak. Secara ilmiah, alam dan manusialah yang membuat kita berbeda dari Sabang sampai Marauke. Yang terpenting bagi kita semua adalah adanya kemauan untuk memahami, menghargai, mengakui dan menerima keberagaman yang sudah menjadi realitas sosial. Memahami kebudayaan lain bukan berarti lalu menerima dan mempraktekkannya dalam diri kita. Sesungguhnya kita bangsa Indonesia sudah lama mengenal masyarakat Bhinneka Tunggal Ika, kita tahu itu, kita menyadari bahwa kita memiliki keanekaragaman suku, budaya, agama, bahasa, dan lain-lain. Namun ada satu hal yang masih dan sangat perlu dibentuk melalui pendidikan multikultural dan pemahaman tentang relativitas budaya di atas adalah menumbuhkan rasa dan kesadaran kita tentang pentingnya menghargai, mengakui, dan menerima keberagaman yang sudah ada. Biarlah tiap-tiap suku bangsa(Etnik) mengembangkan masyarakat dan kebudayaannya dan memupuk kebanggaan terhadap keungulan etniknya masing-masing, tetapi dengan syarat tetap menjunjung tinggi identitas nasional(nasionalisme) sebagai bangsa Indonesia. Kita pelihara kesatuan(berbagai identitas etnik) dan persatuan(bangsa Indonesia). Apabila kita kurang bijak dan kurang terbuka menyikapi keberagaman yang semakin kompleks ini, maka konflik sosial yang berakibat pada kehancuran umat manusia dan disebabkan oleh kebodohan umat manusia, telah menunggu-ibarat mulut buaya yang sedang menganga menunggu mangsanya. Maka tidak keliru, apabila Marthin Luther King, Jr mengingatkan kita semua dengan sebuah kalimat: “Unless we learn how to live together as brothers and sisters, we shall die together as fools.”
. http://agnessekar.wordpress.com/2009/02/07/pentingnya-memahamimenghargaimengakui-dan-menerima-perbedaan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar